Judul buku : CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi
Pengarang : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit : Babad Alas
Cetakan : Juli 2008
Tebal buku : 444 halaman
Serat Centhini, sejatinya adalah maha karya sastra Jawa Klasik awal abad ke-19 dan memiliki nama lain Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa dengan empat ribu dua ratus halaman yang terdiri dari dua belas jilid, tujuh ratus dua puluh dua tembang, dua ratus ribu bait lebih.
CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi merupakan titisan dari Serat Centhini hasil proses yang mengagumkan. Buku ini karya Elizabeth D. Inandiak, penyair asal Lyon, Perancis. Sebelum mengalihbahasakan karya ini ke dalam bahasa Indonesia yang terbit Juli 2008, karya aslinya berjudul Les Chants de lile a dormir debout - le Livre de Centhini terbit 2002. Elizabeth memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada tahun 2003.
Elizabeth terbentur kesulitan dengan rencana awalnya untuk membuat terjemahan Serat Centhini secara harfiah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke bahasa Perancis. Bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedangkan bagi pakar-pakar yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Rupanya kerohanian yang terlalu tinggi dan syahwat yang terlalu bejat telah menghalangi penerjemahan Suluk yang patut dihormati ini.
Elizabeth pada akhirnya bertemu Ibu Sunaryati Sutanto, murid Dr. Zoemulder. Suluk raksasa Jawa ini tidak suci, tidak pula kotor bagi sastrawati itu, tetapi merupakan buku yang memuat semua yang nyata dan rekaan dalam kehidupan. Dari empat ribuan halaman, Ibu Sunaryati Sutanto dan Elizabeth menerjemahkan sekitar seribu halaman ke dalam bahasa Indonesia, lalu bahasa Perancis.
Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta karun harus ditambang untuk diuntai kembali dalam kisah yang memesona.
Tambangraras adalah istri si tokoh utama, Amongraga yang bernama asli Jayengresmi. Centhini adalah nama abdi Tambangraras. Kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini dijuluki nama seorang pembantu, Centhini ? Elizabeth menuliskan “ seolah-olah kalbu Suluk Adiluhung Jawa itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para junjunganku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari Suluk, pulang ke zatku yang sejati, Ilahi. “
Tembang awal Centhini mengisahkan serangan Sultan Agung terhadap Kekalifahan Giri yang menolak tunduk kepada Mataram. Sunan Giri ditangkap dan dibawa ke Mataram serta membuat anak-anaknya harus melarikan diri.
Pengembaraan anak-anak Sunan Giri : Jayengremi yang terpisah dengan kedua adik kandungnya Jayengsari dan Rancangkapti yang melengkapi kisah-kisah Centhini. Dalam pengembaraan itu mengisahkan berbagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa yang kaya dan luar biasa.
Salah-satu pengetahuan mengisahkan sejarah Reog Ponorogo. Cebolang, salah satu tokoh dalam Centhini yang belakangan berjodoh dengan Rancangkapti, mendapatkan asal muasal reog dalam pertualangannya di Ponorogo.
Berasal dari tari sindiran yang diciptakan Ki Ageng Kutu diiringi awut-awutan kata yang ia jadikan sarana sangat kuat melawan Majapahit. Sang warok mengenakan topeng kepala macan dengan di atasnya melenggang seekor merak. Macan menggambarkan Raja Brawijaya yang tiap gerak dan pikirnya sejak itu dikendalikan oleh kaki tangan Cinanya, si merak.
Kisah-kisah syahwat pun tidak serta merta diceritakan dengan seronok dan vulgar belaka melainkan keindahan dan kesuciannya. Kisah ini terlihat pada kisah Jayengresmi yang berubah nama menjadi Amongraga sewaktu menikahi Tambangraras, setelah hari pernihakahnya memerlukan empat puluh hari sebelum melakukan hubungan suami istri.
Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tambangraras di ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan air mata. Mereka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan, tanpa kalah atau menang. Beberapa saat menjelang subuh, Tambangraras terlena dalam sanggama.
Perlahan Amongraga undur diri dari kelelapan sang istri dan menaruh dua bantal di kanan dan kiri kepalanya. Diselimutkannya kain peraduan ke atas tubuh telanjangnya bagai kafan sanggama mereka. Tiga surat ia tulis, yang pertama ditujukan kepada Tambangraras :
“ Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali. Tetapi orang berjalan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kamu mengira aku pergi padahal aku mengembara di dalam dirimu. “
CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi disadur dengan bahasa yang mengalir dan indah. Membacanya sendiri seolah-olah memasuki dimensi yang penuh pesona.
CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi merupakan titisan dari Serat Centhini hasil proses yang mengagumkan. Buku ini karya Elizabeth D. Inandiak, penyair asal Lyon, Perancis. Sebelum mengalihbahasakan karya ini ke dalam bahasa Indonesia yang terbit Juli 2008, karya aslinya berjudul Les Chants de lile a dormir debout - le Livre de Centhini terbit 2002. Elizabeth memperoleh penghargaan Prix de La Francophonic pada tahun 2003.
Elizabeth terbentur kesulitan dengan rencana awalnya untuk membuat terjemahan Serat Centhini secara harfiah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke bahasa Perancis. Bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedangkan bagi pakar-pakar yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Rupanya kerohanian yang terlalu tinggi dan syahwat yang terlalu bejat telah menghalangi penerjemahan Suluk yang patut dihormati ini.
Elizabeth pada akhirnya bertemu Ibu Sunaryati Sutanto, murid Dr. Zoemulder. Suluk raksasa Jawa ini tidak suci, tidak pula kotor bagi sastrawati itu, tetapi merupakan buku yang memuat semua yang nyata dan rekaan dalam kehidupan. Dari empat ribuan halaman, Ibu Sunaryati Sutanto dan Elizabeth menerjemahkan sekitar seribu halaman ke dalam bahasa Indonesia, lalu bahasa Perancis.
Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta karun harus ditambang untuk diuntai kembali dalam kisah yang memesona.
Tambangraras adalah istri si tokoh utama, Amongraga yang bernama asli Jayengresmi. Centhini adalah nama abdi Tambangraras. Kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini dijuluki nama seorang pembantu, Centhini ? Elizabeth menuliskan “ seolah-olah kalbu Suluk Adiluhung Jawa itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para junjunganku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari Suluk, pulang ke zatku yang sejati, Ilahi. “
Tembang awal Centhini mengisahkan serangan Sultan Agung terhadap Kekalifahan Giri yang menolak tunduk kepada Mataram. Sunan Giri ditangkap dan dibawa ke Mataram serta membuat anak-anaknya harus melarikan diri.
Pengembaraan anak-anak Sunan Giri : Jayengremi yang terpisah dengan kedua adik kandungnya Jayengsari dan Rancangkapti yang melengkapi kisah-kisah Centhini. Dalam pengembaraan itu mengisahkan berbagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa yang kaya dan luar biasa.
Salah-satu pengetahuan mengisahkan sejarah Reog Ponorogo. Cebolang, salah satu tokoh dalam Centhini yang belakangan berjodoh dengan Rancangkapti, mendapatkan asal muasal reog dalam pertualangannya di Ponorogo.
Berasal dari tari sindiran yang diciptakan Ki Ageng Kutu diiringi awut-awutan kata yang ia jadikan sarana sangat kuat melawan Majapahit. Sang warok mengenakan topeng kepala macan dengan di atasnya melenggang seekor merak. Macan menggambarkan Raja Brawijaya yang tiap gerak dan pikirnya sejak itu dikendalikan oleh kaki tangan Cinanya, si merak.
Kisah-kisah syahwat pun tidak serta merta diceritakan dengan seronok dan vulgar belaka melainkan keindahan dan kesuciannya. Kisah ini terlihat pada kisah Jayengresmi yang berubah nama menjadi Amongraga sewaktu menikahi Tambangraras, setelah hari pernihakahnya memerlukan empat puluh hari sebelum melakukan hubungan suami istri.
Bulan menuju malam, Amongraga meniduri Tambangraras di ranjang bidadari dan membanjiri tubuhnya dengan air mata. Mereka mulai main asmara yang langka, tanpa aturan atau tujuan, tanpa kalah atau menang. Beberapa saat menjelang subuh, Tambangraras terlena dalam sanggama.
Perlahan Amongraga undur diri dari kelelapan sang istri dan menaruh dua bantal di kanan dan kiri kepalanya. Diselimutkannya kain peraduan ke atas tubuh telanjangnya bagai kafan sanggama mereka. Tiga surat ia tulis, yang pertama ditujukan kepada Tambangraras :
“ Kekasihku, di jalan ada jumpa dan sua kembali. Tetapi orang berjalan sendiri-sendiri. Kupikul ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah tembang laras Suluk itu. Kamu mengira aku pergi padahal aku mengembara di dalam dirimu. “
CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi disadur dengan bahasa yang mengalir dan indah. Membacanya sendiri seolah-olah memasuki dimensi yang penuh pesona.
8 komentar:
Ditunggu yang punya Om Pramnya ya. :)
iya yang Om Pram masih diculik ya :D
Iya gapapa, ditunggu reviewnya.
Lagian bukunya Mba Retni juga masih di aku, kan. Sama-sama ditahan ya, he he he.
kalo di gue ada tiga bukunya K ya ....
Yup, benul... :)
saya buku sudah aku incar, saya belum sempat beli. gimana bung, kabarnya??
buku ini sudah aku incar, tapi sayang belum sempat beli... gmn kabarnya, bung???
bae Mas Nur .... Centhini bagus... jadi pengen baca Serat Centhininya....
Posting Komentar