Kamis, 26 Juni 2008

Cintaku Di Rumah Buku !



Pagi ini saya membaca tulisan Mas Nur Mursidi di salah satu blognya, Etalase. Judulnya tidur berbantal buku. Mas Nur ini seorang penulis cerpen, esai, opini, resensi buku dan film. Anda dapat menemui karya-karyanya di beberapa media seperti majalah Anggun, Jurnal Nasional, Koran Seputar Indonesia, Suara Karya dan banyak lagi media lainnya.

Tulisan tidur berbantal buku membuat saya terinpirasi menuliskan kecintaan saya terhadap buku. Berikut saya menuliskannya....

Alkisah dimulai ketika saya berumur beberapa bulan, ketika ritual bayi menginjak tanah.

Pada ritual tersebut sang bayi, saya sendiri hehehehe… dikurung dalam kurungan ayam dan di luar kurungan diletakkan beberapa benda. Antara lain diletakkan mainan, uang, pensil dan buku. Ketika dibuka sang bayi akan merangkak menuju benda-benda tersebut dan diyakini benda-benda tersebut di kemudian hari adalah petunjuk masa depannya.

Waktu itu saya mengambil buku dan pensil. Saya mengetahuinya setelah umur beberapa tahun dari cerita Mama. Buat saya, ritual tersebut sampai dua puluhan ke depannya hanyalah sekedar ritual adanya. Tanpa arti apalagi menyakininya !

Semasa sekolah saya memang hobi membaca bahkan menjadi kutu buku mendekati gila buku. Seingat saya seputaran di kelas 3 SD saya senang membaca komik dan buku cerita seperti Lima Sekawan, Trio Detektif. Anda yang tahu bacaan tersebut pasti bisa menebak masanya hehehehe…. Saya melalap habis komik-komik seperti Mahabharata, Bharata Yudha dan pecahan-pecahan komiknya.

Saya beruntung walaupun orang tua saya tidak mampu memberikan buku-buku, termasuk buku-buku pelajaran sekolah. Beruntungnya saya, sekolah saya memiliki perpustakaan yang meminjamkan buku-buku pelajaran sekolah selama 1 (satu) tahun. Di luar itu juga perpustakaan sekolah koleksi buku-buku cerita dan komik yang lengkap.

Keberuntungan lain, di kampung saya tinggal ada satu perpustakaan milik PT Timah dan dua penyewaan buku milik perorangan. Biaya sewa buku di tempat tersebut sangat murah. Saya biasanya mengumpulkan uang jajan yang sampai saya sekolah di SMU sebesar 100 perak sehari untuk meminjam komik dan buku cerita.

Papa saya cuma seorang penjaga gudang yang telah bekerja 20 tahunan sejak beliau bujangan sampai tahun 1991 cuma bergaji 75 ribu sebulan. Gaji tersebut hanya cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga 4 orang. Makan hanya ditemani nasi dan kerupuk menjadi menu yang umum.

Saya mengenal koran dari gudang tempat Papa bekerja. Biasanya 2 atau 3 bulan sekali, kapal pengangkut barang mendatangkan koran-koran bekas dari Jakarta. Koran-koran bekas itu dijual oleh Bos Papa ke pasar-pasar atau toko-toko untuk pembungkus barang belanja. Begitu datang koran-korang bekas yang jumlahnya berton-ton mengisi gudang tempat Papa bekerja.

Kalau sudah begitu biasanya pada sore hari sebelum Papa pulang, saya bersama adik akan ke gudang. Memilih-milih koran-koran bekas untuk dibaca. Koran-koran yang dipilih tidak ada yang kami ambil double dan setelah kami menghadap Om Kepala Gudang untuk memintanya. Melihat wajah anak kecil dengan mata berbinar-binar memelas, Om Kepala Gudang dengan tulus mengijinkan kami membawanya pulang. Dari koran-koran bekas itu, saya mengenal serial komik Si Mimin, tentang anak Negro dan Mamanya yang lucu.

Kegilaan saya terhadap buku bertambah menginjak umur belasan ketika bersekolah di SMP. Ketika suatu hari seorang teman meminjamkan cerita silat Kho Ping Ho dan sejak itu semua cersil Kho Ping Ho tidak ada yang lolos dari mata. Akibatnya di kelas 3 SMP, penglihatan saya ketika diperiksa harus menggunakan kacamata minus 1.

Setamat SMA, kami melakukan bedol keluarga migrasi ke Jakarta untuk memperbaiki kehidupan. Rencananya apabila dalam setahun apabila tidak ada tanda-tanda kehidupan buat kami di Ibu Kota ini, kami akan balik kanan ke kampung.

Mama memiliki kakak laki-laki dan adik perempuannya yang telah mendahului merantau di Jakarta. Tante saya menampung kami di rumahnya saat datang di Jakarta. Tuhan memberikan karunianya kepada Papa yang diterima bekerja di sebuah perusahaan. Sementara Mama membantu pekerjaan rumah Tante dan adik saya baru masuk kelas 1 SMP.

Saya sendiri memilih untuk mencari pekerjaan daripada menerima tawaran dibiayai kuliah oleh Om, kakaknya Mama. Tidak mau berhutang budi dan keluarga kami membutuhkan penghasilan secepatnya, pikir saya waktu itu.

Sembari mencari pekerjaan, saya membantu di toko kelontong milik Tante. Tugas saya melayani pembeli minyak, terigu, mie, gula dan rokok yang menjadi komoditas utama dagangan di toko. Memasukkan minyak kalengan dari truk supplier ke gudang juga menjadi rutinitas selain menakar minyak, gula dan mie menjadi kilo-kiloan per bungkusnya.

Pernah juga diterima bekerja di toko elektronik di Glodok yang kuat sampai 3 bulan saja karena istri si bos super bawel untuk ukuran saya yang saat itu berumur 18 tahun. Sempat bekerja sebagai sales panci selama 3 bulan. Berhenti karena selama itu cuma berhasil menjual 1 panci teflon, itupun sudah sampai memohon-mohon merayu seorang Guru SD di daerah Tanjung Priok. Saya tahu persis beliau membelinya karena kasihan daripada membutuhkannya.

Sore sepulang dari kerja menjajakan panci, saya menyempatkan diri kursus komputer 3 bulanan. Waktu itu masanya wordstar, lotus dan dbase. Masih mencoba menebak generasinya .... hehehehe

Selesai kursus 3 bulanan dengan hasil ujian mendapatkan beasiswa setahun penuh untuk kursus programmer. Selama masa kepindahan dari kampung ini sampai masa ini, kebiasaan membaca saya entah ke mana. Saya tidak mengambil beasiswa tersebut karena berbarengan dengan kebahagiaan yang begitu besarnya, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan.

Saya masih tinggal di rumah Tante di bilangan Kemayoran yang memang cukup besar menampung kami sekeluarga. Sementara saya bekerja di ujung utara Jakarta, daerah Marunda – Cilincing. Saya perlu menempuh 2 terminal untuk sampai di tempat kerja, terminal Senen dan Tanjung Priok.

Setelah perjalanan dari Tanjung Priok menuju Cilincing, kurang lebih hampir satu jam saya meneruskan dengan jalan kaki sejauh 2 kilo karena menghemat ongkos daripada naik ojek. Di perusahaan yang membesarkan saya mulai dari seorang staff, saya bekerja di sana selama 8 tahunan.

Saya memulai pekerjaan di sana sebagai staff penggajian dan pekerjaan di masa itu dikerjakan tanpa sistem komputer. Tidak seperti sekarang, perusahaan-perusahaan sudah menggunakan Sistem Payroll bahkan yang sudah terintergrasi dengan Human Resource Information System.

Saat itu data absensi dihitung manual dan dibuatkan laporannya menggunakan Lotus, Anda mengenal versi sekarang sebagai Microsoft Excel. Pekerjaan dengan cara seperti itu membutuhkan waktu yang lama, belum lagi kalau ditengah memasukkan data tiba-tiba listrik mati. Bisa bayangkan data gaji untuk karyawan mencapai 1.000 orang hilang dan harus di-entry ulang. Saya pernah sampai mesti minum obat sakit kepala sampai 4 butir sekali telan.

Kondisi begitu membuat saya memutar otak karena Departemen EDP ( Anda mengenalnya sebagai Departemen IT saat ini ) sedang sibuk mengembangkan sistem untuk produksi dan logistik. Karena itu kebutuhan bagian penggajian untuk dibuatkan sistem tidak menjadi prioritas.

Kenapa tidak membuatnya sendiri ? Itu yang muncul di pikiran saya dan menimbulkan penyesalan karena menolak beasiswa programmer di tempat saya kursus. Nasi sudah dimakan, eh menjadi bubur.... Menyesalpun percuma.

Saya bertekad untuk mencari solusi sendiri untuk sistem penggajian itu. Yang terpikir ada 2 cara belajar sendiri membuat aplikasinya dan atau kursus programming lagi. Cara yang terakhir terpaksa harus ditinggalkan karena belum punya dana.

Membuat sendiri ? Tanpa kursus dan dengan sedikit dasar pemograman yang saya pelajari, cara termudah untuk membuatnya adalah belajar dari buku autodidak. Semangat membara. dan tekad baja muncul untuk mengalahkan 4 butir obat sakit kepala.

Uang gaji saya hanya cukup ongkos tranportasi dari rumah ke tempat kerja setelah sisanya diberikan ke Mama untuk biaya hidup kami sehari-hari. Untungnya pabrik tempat saya bekerja menyediakan makan di kantin sehingga saya tidak perlu mengeluarkan uang makan.

Saya membutuhkan buku ! Membeli ? Tidak mungkin ! Dua kilo perjalanan ke tempat kerja yang terakhir saja, saya harus jalan kaki untuk menghemat. Bagaimana mungkin ?
Hmmmmmm, ya Tuhan !

Toko buku ! Itu yang saya butuhkan. Di daerah Kwitang, ada Toko Buku Gunung Agung. Hampir setiap hari sepulang kerja, sesampainya di terminal Senen saya berjalan kaki menuju Toko Buku Gunung Agung. Masa itu belum ada Mal Atrium.

Di Gunung Agung, satu-satu counter tempat incaran saya adalah counter buku komputer. Dengan membawa kertas terlipat dan bolpoin untuk mencatat hal-hal penting dari buku programming. Saya belum mampu membeli buku-bukunya.

Biasanya saya akan sampai di Gunung Agung sehabis magrib. Berada di counter buku komputer sambil kucing-kucingan dengan karyawannya. Sesekali mereka memandang dengan bola mata yang membengkak. Seringkali juga ditegur karena membaca sambil jongkok karena cape berdiri.

Rutin membaca gratis kurang lebih 2 jam per kunjungan, pulangnya dari Kwitang ke Kemayoran saya kembali jalan kaki. Begitu sampai sekian masa, saya berhasil membuat program sederhana untuk penggajian menggunakan Foxbase yang sudah lebih maju dibanding Dbase masa itu. Modal dengkul ! Saya sangat menghayati arti kata yang ini dengan mengalami sendiri, modal dengkul !

Modal dengkul itu memberikan berkah bagi saya : kenaikan gaji dan promosi menjadi Kepala Bagian Penggajian membawahi 3 staf.


Bersambung.......



5 komentar:

penulis mengatakan...

mas, saya tak menyangka jk tulisan saya bs menginpirasi mas nulis "cintaku di rumah buku". yg jelas, aku salut sama mad, pasalnya sejak masih kecil --blm bisa baca-- sudah bisa memilih buku.

Kedua, hanya membaca buku di toko buku bisa mbuat pragram penggajian. Utk itu, aku tunggu cerita selanjutnya....

Yosandy Lip San mengatakan...

Makasih Mas Nur atas komentarnya.... Senang banget dikomentari penulis yang sudah pengalaman.... Apa yang mampu saya lakukan saat ini atas karunia Tuhan yang berlimpah !

Ika Nuri mengatakan...

Akhirnya bisa juga aku selesai membaca tulisanmu yang satu ini, setelah tertahan dengan rong-rongan tugas kuliah yang menyita waktu sehingga kecintaanku dengan baca terhenti sejenak.

Eh, ternyata sudah ada Mas Nur juga yang sudah berkomentar. Apa kabar, Mas? Mungkin Mas tidak kenal saya, tapi saya cukup kenal nama Mas dengan karya-karyanya tidak dapat dihitung dengan jari lagi. He he he

Oke, Bang, ditunggu terusannya ya. Cepat, dimulai sajalah project bukumu, mulai rencanakan dan susun ya, nanti kususul, he he he... :)

Sekarang lagi baca apa? 5cm nya nanti kuselesaikan, aku sedang menyelesaikan Imperium dan The Godfather dulu ya. :)

Anonim mengatakan...

mas, aku tunggu cerita kelanjutannya. kapan diposting???

Yosandy Lip San mengatakan...

Waduh gimana neh ? Agak mentok mo nulisin kisah lanjutannya. Pertama karena true story :)next kisahnya lebih kompleks dan panjang-panjang mesti nulisin sejarah sekitar belasan tahun. Bisa-bisa jadi buku hehehe

Kedua karena memang lagi project buku dan perkembangannya kayaknya mo jadi trilogi hehehe

Jadi mohon maaf dan mohon sabar edisi 2 nya agak ditunda ....

Pembaca Nomor :

Twitter